7.10.11

(sedikit) cerita tentang hari berdirinya kota YOGYAKARTA


Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940 (Staatsblad 1941, No. 47). Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Paku Buwono III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.

Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Selanjutnya secara turun-temurun para keturunannya memerintah kesultanan di sana dan untuk membedakan antara sultan yang satu dengan yang lainnya maka di belakang gelar Sultan Hamengkubuwono ditambah dengan huruf romawi untuk menunjukan yang sedang bertahta.
 
Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tepatnya hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan Hamengku Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta dan memiliki separuh dari wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan Ambarketawang dan dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta. Pada hari Kamis Pon tanggal 3 sura 1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1755, Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa Pacethokan dalam Hutan Beringan yang pada awalnya bernama Garjitawati.

Pembangunan ibu kota Kasultanan Yogyakarta ini membutuhkan waktu satu tahun. Pada hari Kamis pahing tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya pindah atau boyongan dari Pesanggrahan Ambarketawan masuk ke dalam Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa perpindahan ini ditandai dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling melilit dan diukirkan di atas banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol Kemagangan dan Regol Gadhung Mlathi. Momentum kepindahan inilah yang dipakai sebagai dasar penentuan Hari Jadi Kota Yogyakarta karena mulai saat itu berbagai macam sarana dan bangunan pendukung untuk mewadahi aktivitas pemerintahan baik kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun tempat tinggal mulai dibangun secara bertahap. Berdasarkan itu semua maka Hari Jadi Kota Yogyakarta ditentukan pada tanggal 7 Oktober 2009 dan dikuatkan dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar