Pada umumnya, penderita khususnya
olahragawan yang mengalami sprain ankle
derajat I tidak begitu memperhatikan kondisi yang dialaminya karena hanya
merasa nyeri ringan dan sedikit bengkak sehingga tidak dibawa ke dokter/
fisioterapi. Karena kondisinya tidak diperhatikan, mereka tetap melakukan
aktivitas olahraga sehingga dapat terjadi penguluran yang berulang pada
ligamentum talofibular anterior. Penguluran yang berulang-ulang akan
menimbulkan nyeri yang meningkat pada sisi lateral ankle, biasanya bersifat
intermittent atau kadang-kadang konstan, dan cenderung meningkat jika
melakukan aktivitas olahraga. Kondisi ini menjadi kronik sprain ankle.
Pada kronik sprain ankle, akan terjadi kerusakan struktur jaringan. Seperti pada
ligamentum akan terjadi kerobekan, yang dapat merangsang serabut saraf afferen
bermyelin tipis (serabut saraf A delta dan tipe C). Impuls tersebut dibawa ke ganglia
akar saraf dorsalis dan merangsang produksi “P” substance yang memicu
terjadinya reaksi radang. Kemudian impuls tersebut dibawa ke cornu dorsalis
medula spinalis dan dikirim ke level SSP yang lebih tinggi melalui
traktus spinothalamicus. Pada level SSP yang lebih tinggi (cortex sensorik,
hipothalamus & limbik system) impuls tersebut mengalami proses interaksi
yang kemungkinan menghasilkan suatu perasaan subyektif yang dikenal dengan
persepsi nyeri. Otot juga ikut terulur lalu akan menjadi spasme, timbul abnormal crosslink yang dapat mengganggu system
metabolisme dan menimbulkan nyeri. Pada pembuluh darah akan terjadi haemorhage
dan dilatasi yang dapat meningkatkan perlepasan zat-zat iritan yang akan
meningkatkan sensitivitas nocisensorik sehingga akan menimbulkan nyeri.
Sedangkan pada ujung-ujung saraf pada jaringan yang mengalami kerusakan
akan mengeluarkan zat-zat iritan berupa prostaglandin, bradikinin dan histamine
yang akan merangsang saraf afferent A delta dan C yang dapat meningkatkan sensitivitas
nocisensorik sehingga timbul nyeri. Penderita biasanya menghentikan aktivitas
olahraganya karena nyeri yang meningkat. Dengan demikian, problematik utama
pada kronik sprain ankle adalah
peningkatan intensitas nyeri yang bisa menyebabkan gangguan gerak dan fungsi
ankle.
Pemeriksaan yang mengarah riwayat
penyakit sebelumnya dan tes-tes spesifik pada sprain ankle. Pemilihan intervensi yang tepat sesuai dengan
aktualitas dan stadium penyakit, kedalaman jaringan, dan patologi jaringan
sangat diperlukan.
Pemilihan Ultrasound sebagai
modalitas utama pada kondisi kronik sprain ankle
adalah tepat karena efek mekanik dan terapeutik yang dihasilkan oleh
Ultrasound. Ultrasound merupakan modalitas fisioterapi yang menghasilkan
gelombang suara dengan frekeunsi antara 1 – 3 MHz. Ultrasound dapat
menghasilkan efek mekanik, termal dan microtissue damage. Adanya efek mekanik
dan ultrasound menghasilkan panas dijaringan sehingga terjadi peningkatan metabolisme
dan sirkulasi darah. Disamping itu, efek mekanik yang continue dapat
menghasilkan microtissue damage didalam jaringan sehingga memicu terjadinya
reaksi radang baru secara fisiologis yang akhirnya terjadi proses penyembuhan
jaringan.
Elastic bandage merupakan salah
satu stabilisasi pasif yang digunakan pada penderita dengan gangguan pada sendi
ankle. Pemakaian Elastic bandage telah diketahui manfaatnya untuk mencegah
terjadinya cidera dan juga untuk menjaga stabilitas sendi ankle, karena dengan pemakaian
elastic bandage tersebut maka ankle tersangga dengan baik sehingga
gerakan-gerakan yang diinginkan atau gerakan-gerakan ekstrim dapat dihindari.
Keluhan nyeri yang terjadi pada kondisi sprain ankle dapat dikurangi denga pemakaian Elastic bandage, hal
ini disebabkan karena Elastic bandage akan menjaga stabilitas sendi ankle
sehingga iritasi yang berulang-ulang akan dapat dicegah pada saat melakukan
gerakan pada sendi ankle. Elastic bandage juga berfungsi sebagai support dimana
otot-otot terfiksir dengan merata sehingga memungkinkan pemblokiran gangguan
metabolik pada saat peregangan jaringan.
Selain itu, Elastic Bandage juga
berperan dalam modulasi nyeri pada level sentral yang melibatkan sistim limbic
sebagai pusat emosional. Hal ini dapat terjadi karena dengan pemakaian elastic
bandage pada penderita sprain
ankle, secara psikologis dapat mempengaruhi emosional penderita, dimana penderita
sudah merasa aman dengan menggunakan elastic bandage sehingga penderita dapat
melakukan aktifitas kembali tanpa merasa takut, dan keadaan ini secara temporer
dapat memblokade impuls nyeri dikornu posterior medulla spinalis. Dengan adanya
fiksasi atau stabilisasi pasif memungkinkan untuk diberikan latihan stabilisasi
ankle.
Latihan
stabilisasi ankle dilakukan dengan kontraksi otot statik (isometrik). Karena
ini akan meberikan suatu reaksi tidak terjadi perubahan panjang dari otot,
tonus otot meningkat. Penerapan latihan stabilisasi dapat membantu melindungi
serta memperbaiki problem yang muncul akibat instabilitas atau nyeri yang
diakibatkan oleh kelemahan. Nyeri dan ketidakmampuan akan bertambah dengan
munculnya kelemahan otot. Otot-otot ini merupakan komponen yang penting dalam
membantu menstabilisir persendian, sedang kelemahan otot-otot dapat
mengakibatkan semakin parahnya cidera. Dengan latihan stabilisasi akan
terjadi penguatan otot-otot sehingga dapat membantu serta memperbaiki problem
yang muncul akibat instabilitas atau nyeri yang diakibatkan oleh kelemahan. Akibat dari
latihan stabilisasi, maka otot-otot stabilisator aktif pada ankle dapat
memperbaiki kekuatan, ukuran serta mencegah peradangan. Pengaruh dari latihan
stabilisasi juga akan meningkatkan peredaran darah pada persendian dan nutrisi
tulang disamping karena memperbaiki kekuatan dan fungsi resiko terluka atau
cidera kronik pada persendian. Latihan stabilisasi juga memperbaiki system
peredaran darah oleh adanya pumping sehingga mengatasi terjadinya pembengkakan
yang dapat mengganggu gerak dan fungsi sendi dan mampu mengurangi nyeri pada
level sensorik. Dengan berkurangnya nyeri akan menimbulkan peningkatan
kemampuan menyangga beban tubuh sehingga meningkatkan kemampuan fungsional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar