Sebelum menghadapi sebuah pertandingan, ada yang
umum terjadi dalam diri atlet. Kondisi psikologis atlet biasanya menjadi lebih
tinggi. Hal ini terpicu oleh situasi dan keadaan yang akan di hadapi. Ditambah
dengan embel-embel sebuah pertandingan penting yang menentukan. Dari kondisi
tersebut muncul reaksi-reaksi fisiologis dalam tubuh seorang atlet. Keringat
mengucur deras, tangan dan kaki basah oleh keringat, nafas terengah-engah,
gemetar, kepala pusing, mual hingga muntah-muntah. Itu semua adalah respon fisik
atas kondisi mental yang meningkat. Secara umum, atlet tersebut merasa cemas.
Kecemasan adalah peristiwa yang umum dihadapi oleh
siapa saja saat akan menghadapi sesuatu yang penting. Termasuk juga para atlet.
Munculnya rasa cemas, biasanya di dahului oleh gambaran mental atas
peristiwa-peristiwa yang akan dihadapi. Dengan kata lain, ada proses
pembayangan yang dilakukan oleh seorang atlet yang mendahului munculnya rasa
cemas. Dari gambaran tersebut kemudian menyatu dengan persepsi-persepsi,
gambaran-gambaran, harapan-harapan atas diri sendiri.
Secara sederhana kecemasan atau dalam bahasa
psikologi biasa disebut dengan anxiety di definisikan sebagai
aktivasi dan peningkatan kondisi emosi (Bird, 1986). Peningkatan dan aktivasi
ini didahului oleh sebuah kekhawatiran dan kegelisahan atas apa yang akan
terjadi. Dalam konteks pertandingan, tentu saja berkaitan dengan lawan dan
harapan-harapan baik yang berasal dari diri sendiri maupun orang lain.
Cemas vs
Arousal
Ada dua jenis peningkatan dan aktivasi kondisi psikologis
ini. Selain anxiety, ada juga yang disebut dengan arousal. Keduanya
merupakan hasil dari peningkatan kondisi mental seseorang. Bedanya berada pada
tingkatan aktivasi dan jenis emosi yang muncul. Arousal bersifat lebih
positif, artinya arousal memberi energi pada seseorang untuk menyelesaikan
sebuah pekerjaan. Arousal memberi tambahan tenaga yang mendasari sebuah perilaku.
Keinginan untuk menang, menjatuhkan lawan dengan segera (dalam olahraga
beladiri dan tinju), tampil lebih trengginas dan sebagainya adalah hasil yang
muncul dari arousal ini.
Sedangkan cemas adalah kombinasi antara intensitas
perilaku dan arah dari emosi yang lebih bersifat negatif (Bird, 1986). Perilaku
yang sering muncul seiring dengan munculnya rasa cemas ini adalah ketakutan akan
kalah, kekhawatiran atas performa diri dan prestasi lawan dan sebagainya. Dalam
bahasa lain, para ahli sering mengganti istilah anxiety menjadi stress. Secara
umum, kedua istilah ini digunakan secara bergantian dengan merujuk pada
definisi yang sama. Kecemasan adalah hasil keraguan atas kemampuan untuk
menangani situasi yang menyebabkan stress (Hardy, 1996 dalam Humara).
Pahlevi (1991), mendefinisikan kecemasan sebagai
suatu kecenderungan untuk mempersepsikan situasi sebagai ancaman dan akan
mempengaruhi tingkah laku. Handoyo (1980), mendefinisikan kecemasan sebagai
suatu keadaan emosional yang dialami olah seseorang, dimana ia merasa tegang
tanpa sebab. Hal yang nyata dan keadaan ini memberikan pengaruh yang tidak
menyenangkan serta mengakibatkan perubahan-perubahan pada tubuhnya baik secara
somatis maupun psikologis.
Teori awal yang menjelaskan tentang anxiety ini
adalah Hipotesis U-terbaik. Dalam teori ini anxiety dikatakan memberi pengaruh
yang besar terhadap penampilan. Semakin tinggi tingkat kecemasan, maka
penampilan akan semakin optimal. Namun, jika berubah menjadi terlalu tinggi,
maka penampilan akan semakin turun (seperti huruf U yang dibalik).
Anxiety sendiri dibagi menjadi
beberapa jenis. Yang pertama adalah state anxiety atau biasa disebut sebagai
A-state.
A-state
ini adalah kondisi cemas berdasarkan situasi dan peristiwa yang dihadapi.
Artinya situasi dan kondisi lingkunganlah yang menyebabkan tinggi rendahnya
kecemasan yang dihadapi. Sebagai contoh, seorang atlet akan merasa sangat
tegang dalam sebuah perebutan gelar juara dunia. Sebaliknya, tidak begitu
tegang saat menjalani pertandingan dalam kejuaraan nasional.
Yang kedua adalah trait anxiety atau biasa
disebut dengan A-trait. Trait anxiety adalah level kecemasan
yang secara alamiah dibawa oleh seseorang. Dalam A-trait ini tingkat kecemasan
akan berbeda-beda dalam setiap individu berdasarkan kondisi kepribadian dasar
yang dimilikinya. Sebagai contoh, pemain A akan merasa lebih rileks dalam
menghadapi pertandingan di Pekan Olahraga Nasional, tapi untuk atlet lain dia
justru merasa sangat tertekan dan sangat cemas meskipun bertanding dalam even
yang sama. Hal ini disebabkan oleh persepsi dasar seorang individu dalam
memandang sumber kecemasan.
Dan yang ketiga adalah Competitive anxiety. Competitive
anxiety ini adalah kecemasan yang berhubungan dengan situasi kompetisi
atau sebuah pertandingan. Competitive anxiety ini sendiri
dibagi menjadi competitive trait anxiety dan competitive state anxiety.
Anxiety dan
Penampilan
Secara sederhana, anxiety memberi
pengaruh yang cukup besar terhadap penampilan seorang atlet. Menurut teori
hipotesis U-terbalik maka penampilan seorang atlet akan semakin bagus saat
tingkat kecemasan mulai meningkat. Namun, saat tingkat kecemasan mulai naik dan
terus naik, kecenderungan penampilan akan menurun.
Namun, tingkat kecemasan dan stress antara satu
orang dengan orang lain berbeda. Ada beberapa hal yang membedakan tingkat
kecemasan atlet. Yang pertama adalah pengalaman. Atlet yang lebih berpengalaman
terbukti memiliki level kecemasan yang lebih rendah dibandingkan dengan atlet
yang baru saja masih amatir. Yang kedua adalah situasi dan kondisi kompetisi.
Kompetisi yang bersifat lebih tinggi tingkatnya cenderung menyebabkan
meningkatnya tingkat kecemasan bagi seseorang. Sebagai contoh level kejuaraan
dunia ternyata lebih stressfull dibanding dengan kejurnas. Selain level
kompetisi, fase kompetisi itu sendiri juga memberi pengaruh yang cukup besar.
Dalam kompetisi sepakbola yang berformat liga, situasi yang cenderung membuat
cemas adalah saat-saat kompetisi mendekati akhir dengan nilai yang tidak
terpaut jauh sehingga masih ada kemungkinan mengejar atau dikejar.
Level kecemasan juga dipengaruhi oleh tingkat
kepercayaan diri seorang pemain. Pemain yang secara alamiah mempunyai tingkat
kepercayaan diri tinggi memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah
dibandingkan dengan atlet yang rasa percaya dirinya rendah.
Jenis olahraga juga memberi sumbangan terhadap
tingkat kecemasan. Olahraga yang bersifat individual menciptakan tekanan yang
lebih besar dibandingkan dengan cabang olahraga tim (Humara, 1999). Hal ini
wajar karena perasaan mempunyai teman akan membuat lebih tenang dan focus tidak
terpusat pada dirinya.
Hal terakhir yang mempengaruhi tingkat kecemasan
adalah jenis kelamin. Menurut beberapa penelitian, atlet perempuan lebih
cenderung mempunyai tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
atlet laki-laki (Thuot, Kavouras, & Kenefick., 1998 dalam humara).
Metode
Penanganan
Pengaruh terbesar kecemasan terhadap performance
ada pada gerak motorik seorang atlet. Dengan tingkat kecemasan yang melebihi
ambang batas, respon-respon tubuh yang muncul relative merugikan untuk sebuah
penampilan. Tubuh yang gemetar membuat gerakan-gerakan menjadi terbatas, belum
lagi dengan kekakuan otot yang mengiringi atlet yang cemas. Hasilnya,
penampilan tidak akan maksimal. Kesalahan-kesalahan passing, atau gerakan yang
tidak terkontrol akan muncul tanpa sadar.
Untuk itu, atlet perlu disiapkan untuk menangani
kecemasannya dengan baik. Pelatih merupakan ujung tombak agar atletnya tidak
mudah stress dan cemas. Program latihan harus diatur sedemikian rupa sehingga
membiasakan para pemain berada dalam tekanan. Tentu saja bukan tekanan dari
pelatih, tapi oleh situasi-situasi pertandingan tersebut.
Dalam teori kepelatihan sepakbola modern, pola-pola
latihan yang melibatkan tekanan mulai diperkenalkan. Van Lingen (1989)
menyatakan bahwa unsur tekanan akan membiasakan para pemain berada dalam
situasi pertandingan sesungguhnya. Contoh mudah adalah dengan menghadirkan
“lawan” dalam setiap sesi latihan. Latihan passing tidak dianjurkan lagi hanya
dengan dua orang yang berhadap-hadapan tanpa kehadiran musuh disana. Begitu
pula latihan shooting, driblling dan sebagainya.
Pola latihan yang tepat akan membuat para pemain
terbiasa dengan tekanan. Hasilnya akan terlihat pada kompetisi. Pemain tidak
lagi canggung untuk menghadapi musuh, karena memang sudah relative terbiasa.
Selain itu, kompetisi berjasa untuk mengasah
keterampilan emosional pemain. Dengan digelarnya kompetisi rutin, maka para
pemain akan lebih sering bertemu dengan “lawan” sebenarnya. Jika sejak dini
seorang atlet sudah sering dihadapkan untuk mengatasi tekanan lawan, maka
kemampuan untuk mengalahkan imajinasi tentang lawannya akan semakin mudah. Menurut
FIFA, seorang pemain usia dini seharusnya menghadapi minimal 30 pertandingan
resmi dalam setahun. Salah satu tujuannya tentu saja untuk membiasakan para
pemain.
Selain cara-cara yang berkaitan dengan proses
latihan, perlu juga diberikan penanganan-penanganan yang bersifat pribadi. Ini
adalah tugas dari seorang konsultan psikologi atau psikologi olahraga untuk
membuat sebuah bentuk penanganan untuk mengurangi tingkat kecemasan atlet dan
untuk menyiapkan mental atlet dalam menghadapi pertandingan penting. Salah
satunya adalah dengan imagery training. Para atlet diajak
untuk berlatih “membayangkan” situasi-situasi yang akan dihadapi di lapangan.
Tujuannya adalah memberi gambaran awal tentang situasi dan kondisi yang akan
dihadapi. Banyak penelitian telah membuktikan efektifitas imagery traingin ini
dalam mengurangi kecemasan pemain (Yukelson, 2007).
Secara individual, para atlet juga harus membekali
dirinya dengan keterampilan mental untuk mengurangi kecemasan yang timbul.
Keterampilan-keterampilan tersebut berkaitan dengan keyakinan-keyakinan
pribadi. Salah satu contohnya adalah dengan self talk. Dengan self talk, para
atlet diajak untuk mengurai kemampuannya sendiri dengan lebih objektif beserta
solusi-solusi atas kekurangan-kekurangannya.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para
atlet dalam rangka mengurangi kecemasan yang ditimbulkan oleh tekanan
pertandingan, yakni:
· Membuat perpektif yang benar; bertanding dalam
sebuah cabang olahraga bukanlah masalah hidup atau mati. Dengan demikian, beban
akan lebih ringan. Bukan berarti hal ini menganggap remeh sebuah pertandingan,
namun sekedar meletakkan permasalahan dengan lebih objektif.
· Jangan takut untuk membuat kesalahan. Perasaan
takut membuat kesalahan memberi kontribusi yang cukup besar munculnya
kecemasan. Dengan menganggap bahwa tidak semua orang bisa sukses setiap waktu
bisa meringankan beban. Bahkan seorang Zinedine Zidane pun melakukan kesalahan
yang fatal.
· Mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Dengan
berlatih keras dan dengan metode yang benar, maka semua halangan bisa dengan
mudah dikalahkan.
· Berkonsentrasi tinggi. Selama pertandingan
berlangsung, hilangkan persoalan-persoalan yang tidak berkaitan. Dengan
berkonsentrasi pada apa yang sedang dihadapi, maka seorang pemain atau atlet
akan lebih bisa berfikir rasional. Pikirkan juga apa yang sedang dilakukan,
bukan semata pada hasil akhir.
Dengan pendekatan yang benar, maka kecemasan tidak
akan menghalangi penampilan seorang atlet. Sebaliknya, dengan kecemasan yang
relatif tinggi, sebenarnya atlet tersebut sedang bersemangat. Tinggal peran
atlet, pelatih dan psikologi yang ditunggu untuk menciptakan pemain-pemain yang
tidak mudah stress dan bisa dengan maksimal menggunakan skillnya untuk
menciptakan prestasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar